Senin, 01 Agustus 2011

Gula Kacang

“Gula kacang”. Begitulah masyarakat kacang Salatiga menyebut makanan dari bahan gula aren dan kacang tanah ini. Gula kacang (gulcang) adalah salah satu makanan khas asli Salatiga. Dengan rasanya yang sangat manis dan sensasi “kriuk” kacang tanahnya, membuat kita tak kan pernah lupa dengan kota Salatiga. Rasa jahe yang terasa di dalam setiap gigitannya, membuat kita dapat merasakan cita rasa yan berbeda.
  Menurut peuturan Ibu Sumini (49), salah satu pedagang dan pemilik kios sekaligus pembuat gulcang di kawasan Pasar Raya lantai 2. Gulcang telah dikenal kurang lebih selama 4 generasi. Ibu Sumini sendiri, memulai usaha membuat gulcang sejak tahun 1981.
 Pada jaman dahulu, di Salatiga belum ada permen. Belum juga dijualnya manisan-manisan yang serupa dengan permen. Maka warga Salatiga terinspirasi untuk membuat ”permen” dari bahan-bahan yang bisa didapat dengan mudah di lingkunan sendiri.
 Kemudian, tercetuslah sebuah bentuk ”permen” yang manis dengan bahan dasar gula aren dan jahe serta kacang tanah. Setelah beberapa waktu, ”permen” tersebut dikenal leh warga Salatiga, dan menamainya Gula Kacang.Gulcang dipakai oleh warga Salatiga untuk mempererat tali persaudaraan mereka. Gulcang juga selalu dipakai sebagai suguhan bagi para tamu dan hingga saat ini gulcang dijadikan sebagai oleh-oleh khas Salatiga.


PROSES PEMBUATAN GULA KACANG:
 Bahan:                                                            
v  5 kg gula aren                                      
v  6 kg kacang kering
v  0,25 kg jahe
v  Sedikit air
 Alat:
v  Wajan tembaga
v  Sendok
v  Plastik

Cara pembuatan:
1.  Gula aren dicairkan selama ±15 menit, sampai mencair.
2.  Masukkan jahe yang sudah di tumbuk dan kacang, rebus selama ±30 menit.
3. Masukkan campuran jahe dan kacang yang sudah direbus kedalam gula aren yang sudah mencair, aduk selama ±30 menit hingga kacang, jahe dan gula aren tercampur dengan merata.
4.  Kemudain cetak adonan dengan menggunakan sendok.
5.  Diamkan adonan selama ±15 menit hingga mengeras.

Gulcang yang sudah dikemas kemudian kemudian dijual di beberapa kios oleh-oleh di Salatiga. Selain itu juga dikirim ke Jakarta, Semarang, dan Bali.
Ibu Simini menjual tiap kgnya seharga 15.000,00 dengan isi berkisar antara32-40 biji gulcang. Ibu Sumini biasa memproduksi gulcang tiap harinya dengan bahan 50 kg kacang tanah dan 40 kg gula aren. Setiap satu adonan (5 kg gula + 6 kg kacang) Ibu Sumini mendapat untung bersih sebesar Rp 10.000,00.
Kendala atau kesulitan yang dihadapi dalam pembuatan gulcang ialah di musim penghujan. Musim hujan dapat mempengaruhi kualitas gula aren yang dipakai. Gula aren akan lengket dan menghasilkan gula kacang yang cacat, tidak bagus ataupun berkualitas rendah.
Ibu Sumini membeli gula aren dari Ujung-Ujung, Siharga Rp 9.000,00/kg. Untuk kacang tanahnya dibeli dari Solo, sedangkan jahe dibeli di pasar-pasar Salatiga, tiap kgnya sekitar Rp 12.000,00.
Dengan rasa bangga dan rasa cinta yang mendalam akan kota Salatiga, Ibu Sumini tetap melestarikan gulcang hingga bisa dikenal oleh penduduk-penduduk lain di luar Salatiga. Meskipun dalam produksinya masih  menggunakan tenaga manusia (manual), Ibu Sumini tetap semangat dan tiada lelah untuk untuk menghasilkan gulcang yang enak dan berkualitas tinggi.


“ Sebuah warisan budaya takkan pernah lekang oleh waktu jika ada usaha sungguh untuk melestarikannya”
(AGPPT)

5 Sikap Gereja terhadap kebudayaan

H. Richard Niebuhr dari Yale University di Amerika serikat telah membuat bagan tentang sikap Gereja terhadap kebudayaan dalam bukunya Christ and Culture atau Kristus dan kebudayaan. Ia telah menjelajahi sikap-sikap Gereja terhadap kebudayaan sepanjang zaman dalam 5 sikap, yaitu:
                      1. Gereja anti kebudayan
                                   2. Gereja dari kebudayaan
                       3. Gereja diatas kebudayaan
                       4. Gereja dan kebudayaan dalam hubungan paradox
                       5. Gereja pengubah kebudayaan

Ini adalah gambaran –gambaran  umum, sedang dapat kita benarkan pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada gereja yang secara murni mengambil salah satu sikap tersebut. Namun ada baiknya kita membicarakan posisi-posisi itu satu persatu :

1.  Gereja anti kebudayan
Gereja memandang dunia di bawah kekuasaan si jahat sebagai kerajaan kegelapan. Warga Gereja disebut oleh Injil adalah anak-anak terang, karena itun tidak hidup dalam kegelapan. Dunia kegelapan ini dikuasai oleh nafsu kedagangan, nafsu mata, kesombongan. Semua itu akan berlalu sebab mereka akan dikalahkan oleh iman kepada Kristus (Niebuhr, 56).
Sikap menentang kebudayaan ini telah dilancarkan oleh Tertullianus tokoh Gereja abad ke 2. Ia mengatakan bahwa konflik-konflik orang percaya bukan dengan alam tetapi dengan kebudayaan. Dosa asal itu menurut Tertullianus disebarkan oleh kebudayaan melalui pendidikan anak. Oleh karena itu kata tertullianus tugas Gereja adalah menerangi semua orang yang sudah berada di bawah ilusi kebudayan, supaya mereka dibawa kepada pengetahuan akan kebenaran. Yang paling buruk dari kebudayaan adalah agama sosial, kafir atau politheisme, hawa nafsu dan kemaksiatan (Niebuhr, 60). Tetapi pada pihak lain, tertullianus menganjurkan agar Gereja memupuk kebersamaan, tidak meninggalkan pertemuan umum, tempat pemandian, kede, penginapan, pasar mingguan tempat perdgangan sebab Gereja dengan semua itu numpang bersama dalam dunia. Selanjutnya kata Tertullianus, kami berlayar bersama berjuang denganmu, mengolah tanah denganmu bahkan dalam bidang seni untuk umum. Pada pihak lain Tertullianus mengajak orang menjauhi keterlibatan dalam soal-soal kenegaraan, antara lain menolak dinas militer sebab melanggar perintah Injil yang melarang menggunakan pedang dan tidak ikut dalam sumpah setia kepada kaisar dan keturut sertaan dalam upacara kafir. Ia menolak bentuk kekristenan yang berfusi dengan Stoa dan Plato. Menurut pendapatnya, tidak ada hubungan Kristus dengan filsafat. Walau Tertullianus tidak menolak seluruh kebudayaan, tapi Niebuhr menyebutnya termasuk dalam posisi Gereja lawan kebudayaan.
   
2. Gereja dari kebudayaan
Kelompok yang menganut paham ini merasa tidak ada ketegangan besar antara gereja dan dunia, antara Injil dan hukum-hukum sosial, antara karya rahmat Illahi dengan karya manusia. Mereka menafsirkan kebudayaan melalui Kristus danberpendapat bahwa pekerjaan dan pribadi Kristus adalah sangan sesuai dengan kebudayaan. Dipihak lain, kelompok ini berpendapat jika Kristus ditafsirkan melalui kebudayaan, maka hal-hal yang terbaik dalam kebudayaan adalah cocok dengan ajaran dan kehidupan Kristus. Namun penyesuaian ini bukan sembarangan, sebab telah dilakukan juga penjungkiran bagian-bagian kebudayaan yang tidak sesuai dengan Injil dan bagian-bagian Injil yang tidak sesuai dengan adat istiadat sosial (Niebuhr : 94).
Tetapi kaum Gnostik Kristen menafsirkan Kristus sepenuhnya sesuai dengan konsep kebudayaan, tidak ada pertentangan antara keduanya. Dengan demikian ada perdamaian Injil dengan kebudayaan dan karena itu kekristenan telah menjadi sistem agama dan filsafat dan Gereja hanya sebagai perhimpunan religius bukan sebagai gereja atau masyarakat baru. Tokoh-tokoh penyesuaian ini dalam sejarah Gereja adalah Clemens (200) dan Origines (185-254)- (Fuklaan-Berkhof, 1981 : 41).
Pada abad pertengahan posisi Gereja dari kebudayaan dilanjutkan oleh Petrus Abelardus (1079-1142) yang mengakui karya Filsuf Socrates dan Plato sebagai guru mendidik walaupun lebih rendah tingkatnya tyetapi bersesuaian dengan ajaran Yesus (Niebuhr, 100).
Tokoh yang lain adalah Ritschl yang menggagasi untuk merekonsiliasi kekristenan dengan kebudayaan. Kelompok ini secara keseluruhan disebut Protestantisme kebudayaan melalui gagasan tentang kerajaan Allah yang telah disamakan dengan suatu kerajaan umat manusia yang terhimpun dalam suatu keluarga, di bawah ikatan kebajikan, perdamaian, keperluan bersama. Perhimpunan ini terbentuk melalui aksi moral secara timbal balik dari anggota-anggotanya yaitu suatu aksi melalui pertimbangan alamiah (Niebuhz, 109). Dalam gagasan ini, kesetiaan orang kepada Kristus menentukan orang untuk berpartisipasi secara aktif dalam karya kebudayaan (Niebuhr, 110).

3. Gereja diatas kebudayaan
Pandangan ini berawal dari pandangan tingkatan hirarkis dari alam (natural) dan spiritual (rohani). Menurut Thomas Aquinas (1225-1274), kebudayaan menciptakan aturan suatu kehidupan sosial yang ditemukan oleh akan budi manusia yang dapat dikenal oleh semua yang berakal sehat sebab bersifat hukum alam. Tapi disamping hukum alam ada hukum Ilahi yang dinyatakan Allah melalui para Nabi yang melampaui hukum alam. Sebagian hukum Ilahi adalah harmonis dengan hukum alam dan sebagaian lagi melampauinya dan itulah menjadi hukum dari hidup supernatural manusia (ordo supernaturalis). Hukum Ilahi terdapat dalam perintah: jualah semua apa yang kamu miliki, berikan kepada orang miskin sedang hukum alam terdapat dalam perintah kamu tidak boleh mencuri, yaitu hukum yang sama dapat ditemui oleh akal manusia dan didalam wahyu. Dari contoh itu Thomas Aquinas menyimpilkan bahwa hukum alam yang ditemui yang terdapat dalam kodrat hidup manusia berada dubawah ordo supernaturalis.
Manusia dalam hidupnya sudah kehilangan ordo supernaturalis dan untuk dapat memulihkannya kembali hanyalah melalui sakraman.Gereja berada dalam ordo supernatulis. Oleh karena itu kebudayaan berada di bawah hirarkis gwereja. Dengan itu pada abad pertengahan gereja menguasai seluruh kebudayaan dalam tatanan Corpus Christianum.

4. Hubungan Gereja dan kebudayaan dalam paradoks
Dalam pandangan ini, iman dan kebudayaan dipisahkan. Orang beriman (Kristen) berada dalam dua suasana yaitu berada dalam kebudayaan dan sekaligus berada dalam anugerah Allah dalam Kristus. Oleh sebab itu orang beriman dihimpit oleh dua suasana yaitu hidup dalam iman dan hidup dalam kebudayaan.
Dalam sejarah Gereja, Marcian seorang tokoh gereja abad ke 2 yang berpendirian bahwa dalam kebudayaan manusia di bawah Allah yang rendah derajadnya yang dinamainya domiurgos sedang dalam pembaharuan ciptaan, manusia hidup di bawah Allah Rahmani. Dengan itu ia telah mempelopori hidup secara dualisme. Ajaran ini ditolak gereja pada masa itu dan dikategorikan sebagai ajaran sesat.
Pandangan dualisme kelihatan juga secara samar dalam ajaran Marthin Luther yang mencetuskan reformasi pada tahun 1517 Menurut dia orang beriman hidup dalam dua kerajaan, yaitu kerajaan Allah yang rohani dan kerajaan duniawi. Kerajaan Allah adalah suatu kerajaan anugerah dan kemuliaan, tetapi kerajaan duniawi adalah suatu kerajaan kemurkaan dan kekerasan. Kedua kerajaan itu tidak dapat dicampur adukkan. Masing-masing lingkungan menurutaturannya. Jadi manusia hidup dalam dua tatanan yaitu tatanan kebudayaan berdasarkan hukum alam dan tatanan rohani yaitu tatanan surgawi. Ada kesan bahwa Marthin Luther tidak menghubungkan tatanan duniawi dengan yang surgawi sehingga kehidupan dalam kebudayaan dan surgawi tidak berhubungnan. Dengan itu ada kemungkinan orang tidak lagi membawa imannya dalam kehidupan dalam kebudayaan (Niebuhr, 194).
Pada abad ini pandangan itu dipertahankan oleh seorang Teolog bernama William Roger. Manusia menurut Roger, harus berbakti kepada Allah maupun raja, kendati ada ketegangan antara keduanya. Orang beriman seyogianya hanya berbakti kepada Allah tetapi tidak dapat tidak harus berbakti kepada kebudayaan. Kita tidak dapat tidak hidup seperti ampibi, yaitu hidup dalam rahmat Allah dan sekaligus dalam kebudayaan. Kedua lingkungan ini terpisah dan tidak saling berhubungan. Hal ini mungkin bahwa seorang dapat hidup berdasarkan imannya pada lingkungan rohani atau hidup menurut imannya pada lingkungan rahmat dan pada pihak lain ia hidup menurut aturan duniawi dalam lingkungan dunia (Niebuhr:207).

5. Gereja pengubah kebudayaan
Banyak orang Kristen sepanjang abad tidak menyetujui keempat pendirian tersebut baik dalam teori maupun dalam politik. Mereka juga tidak bersedia menyerah kepadakebudayaan karena mereka memahami kebudayaan mempunyai kelemahan-kelemahan. Mereka juga menolak takluk kepada kebudayaan yang dipaksakan gereja sebab kebudayaan yang dipaksakan gereja selalu berbentuk sintesa antara kerajaan Allah dan kerajaan dunia dan ada kecenderungan memandang kebudayaan yang masih berdosa ini dianggap suci sebab berada di bawah gereja. Tapi adalah tidak benar, jika dikatakan bahwa kerajaan Allah telah diwujudkan dalam kebudayaan yang diciptakan gereja (Verkugl, 1982 : 49).
Sikap gereja yang tepat menurut H. R. Niebuhr adalah sikap gereja pengubah kebudayaan.Seorang teolog bernama Augustinus (354-430) telah mempelopori sikap gereja pengubah kebudayaan. Posisi ini berangkat dari pendirian bahwa tidak ada suatu kodrat yang tidak mengandung kebaikan, karena itu kodrat setan sendiripun tidaklah jahat, sejauh itu adalah kodrat, tapi ia menjadi jahat karena dirusak (Niebuhr, 239).
Tetapi Allah kata Augustinus, memerintah dan mengatasi manusia dalam pribadi dan sosial mereka yang rusak. Pandangan ini berasal dari pemahaman bahwa oleh sifat kreatifitas Allah maka Allah tetap menggunakan dengan baik kehendak manusia yang jahat sekalipun, sehingga m,anusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya melalui kebudayaannya. Sikap Allah ini mendapat wujudnya dalam Yesus Kristus yang telah datang kepada manusia yang telah rusak untuk menyembuhkan dan memperbaharui apa yang telah ditulari melalui hidup dan kematiannya, ia mengatakan kebesaran kasih Allah dan tentang begitu dalamnya dosa manusia (241). Denganjalan Injilnya ia memulihkan apa yang telah rusak dan memberi arah baru terhadap kehidupan yang telah rusak (242). Atas pemikiran teologis tersebut, Agustinus meletakkan gagasan Injil pengubah kebudayaan atau Injil adalah Conversionis terhadap kebudayaan. Pemikiran Augustinis ini dilanjutkan oleh Johanes Calvin pada awal abad ke 16. Titik tolak pikirannya berawal pada pandangannya bahwa hukum-hukum kerajaan Allah telah ditulis dalam kodrat manusia dan dapat terbaca dalam kebudayaannya. Dengan itu hidup dan kebudayaan manusia dapat ditransformasikan sebab kodrat dan kebudayaan manusia dapat dicerahkan, sebab mengandung kemungkinan itu pada dirinya sebagai pemberian Ilahi. Oleh sebab itu Injil harus diaktualisasikan dalam kebudayaan supaya kebudayaan lebih dapat mensejahterakan manusia (245-246).

Dapatlah kita simpulkan bahwa sikap gereja terhadap kebudayaan adalah :
1.      Gereja menentang kebudayaan khususnya terhadap unsur-unsur yang secara total bertentangan dengan Injil, umpamanya terhadap kultus agama, suku dan tata kehidupan yang tidak membangun seperti poligami, perjudian, perhambaan.
2.      Menerima unsur-unsur kebudayaan yang bersesuaian dengan Injil dan bermanfaat bagi kehidupan.
3.      Menerima unsur-unsur kebudayaan tertentu dan mentransformasikannya dengan Injil umpamanya tata perkawinan, seni tari dan lain-lain sehingga dapat menjadi sarana Injil untuk membangun iman dan kehidupan.

Selasa, 14 Juni 2011

SEJARAH KAMERA LUBANG JARUM

Teknologi fotografi bermula dari keinginan manusia yang nyatanya memang menjadi tuntutan kebutuhan untuk bisa merekam gambar sepersis mungkin. Maka digunakanlah kotak penangkap bayangan gambar, sebuah alat yang mulanya untuk meneliti konstelasi bintang-bintang secara tepat yang dipatenkan seorang ahli perbintangan, Gemma Frisius, tahun 1554. Namun cikal bakalnya sudah dimulai oleh penulis Cina, Moti, pada abad ke-5 SM, Aristoteles pada abad ke-3 SM, dan seorang ilmuwan Arab ibnu al Haitam atau Al Hazen pada abad ke-10 M. Kemudian pada tahun 1558 ilmuwan Italia Giambattista della Porta menyebut “camera obscura” pada sebuah kotak yang membantu pelukis menangkap bayangan gambar.
Awal abad ke-17, Angelo Sala, ilmuwan yang berkebangsaan Italia menemukan proses “jika serbuk perak nitrat dikenai cahaya warnanya akan berubah menjadi hitam”. Selanjutnya berbagai percobaan pun dilakukan. Hingga tahun 1824, seorang seniman lithography Perancis Joseph-Nicéphore Niépce (1765-1833), setelah 8 jam meng-exposed pemandangan dari jendela kamarnya melalui proses “Heliogravure” di atas plat logam yang dilapisi aspal, berhasil melahirkan sebuah imaji yang agak kabur dan berhasil pula mempertahankan gambar secara permanen. Kemudian ia pun mencoba menggunakan kamera obscura berlensa. Maka pada tahun 1826 lahirlah sebuah “foto” yang akhirnya menjadi awal sejarah fotografi.
Merasa kurang puas, tahun 1827 Niépce mendatangi desainer panggung opera yang juga pelukis, Louis-Jacques Mande’ Daguerre (1787-1851) untuk mengajaknya berkolaborasi. Sayang sebelum menunjukkan hasil optimal, Niépce wafat. Baru pada tanggal 19 Agustus 1839, Daguerre dinobatkan sebagai orang pertama yang berhasil membuat “foto yang sebenarnya”: sebuah gambar permanen pada lembaran plat tembaga perak yang dilapisi larutan iodin yang disinari selama satu setengah jam cahaya langsung dengan pemanas mercuri (neon). Proses ini disebut daguerreotype. Untuk membuat gambar permanen, pelat dicuci larutan garam dapur dan air suling.
Di Inggris beberapa bulan sebelumnya, tepatnya 25 Januari 1839, William Henry Fox Talbot (1800-1877) memperkenalkan “lukisan fotografi” yang juga menggunakan camera obscura, tapi ia buat positifnya pada sehelai kertas chlorida perak. Kemudian pada tahun yang sama Talbot menemukan cikal bakal film negatif modern yang terbuat dari lembar kertas beremulsi yang bisa digunakan untuk mencetak foto dengan cara contact print, juga bisa digunakan untuk cetak ulang layaknya film negatif modern. Proses ini disebut Calotype yang kemudian dikembangkan menjadi Talbotypes. Untuk menghasilkan gambar positif Talbot menggunakan proses Saltprint. Gambar dengan film negatif pertama yang dibuat Talbot pada Agustus 1835 adalah pemandangan pintu perpustakaan di rumahnya di Hacock Abbey, Wiltshire – Inggris.
Dan di Indonesia, tahun 1997, saat teknologi digital mulai booming, saya yang mulai menggunakan kamera digital karena tuntutan pekerjaan sebagai profesional fotografi pun, mulai resah. Saya tidak anti digital, tapi saya pikir di dunia pendidikan fotografi lebih baik jika “mengetahui sesuatu dari dasarnya dulu”. Maka berawal dari sukses memotret pagar depan rumah tinggal dengan menggunakan KLJ kaleng susu 800 gram dengan negatif kertas Chen Fu tahun 1997, digelarlah workshop perdana pada tahun 2001 di lokasi pembuangan sampah Bantar Gebang dengan asisten instruktur Ipoel, didukung Galeri i-see, dan disponsori Kedutaan Belanda. Akhirnya, September tahun 2001 terbitlah buku “MEMOTRET dengan KAMERA LUBANG JARUM” terbitan Puspaswara. Saya menyebut pinhole camera dengan sebutan Kamera Lubang Jarum (KLJ) karena konsep dasar inovasinya berbeda. Saya tidak terlalu mempermasalahkan “teknik”, tapi mencoba menularkan “rasa yang mendalam” dengan menggunakan kata kunci khas Indonesia: “secukupnya”. Selanjutnya, digelarlah workshop tour “gerilya” di Jawa, Bali, bahkan Makassar, hingga pada 17 Agustus 2002 berani memproklamirkan KOMUNITAS LUBANG JARUM INDONESIA (KLJI) sebagai komunitas para pemain KLJ.
Sebagai sebuah filosofi KLJI sebenarnya tidak mempersoalkan masalah “kamera”, tapi makna “lubang jarum” lah yang kami garis bawahi. Karena lubang jarum bisa berarti kondisi dimana saat sulit datang bertamu dan pada saat seperti itu kita harus mampu meloloskan diri. Pantas jika Leonardo Da Vinci menyatakan: “Siapa yang akan percaya dari sebuah lubang kecil, kita dapat melihat alam semesta”, karena terbukti KLJ mengajak kita untuk berada dalam suatu ruang yang cukup luas untuk olah pikir, olah rasa dan bahkan olah fisik. Tetapi ruang itu harus kita penuhi dengan aksi-aksi nyata.
Sesungguhnyalah, KLJ menawarkan pemanjaan idealisme yang luarbiasa. KLJ menawarkan seni proses yang sangat melelahkan, tapi juga KLJ bisa sangat mengasyikkan. Mungkin hal itulah yang menggelitik sehingga KLJ bagaikan virus. Sangat pantas jika KLJ di Indonesia digunakan sebagai kendaraan untuk masalah “pendidikan” dan juga masalah “seni”. Ini terbukti saat mengikuti “Gigir Manuk Multicultural Art Camp” bulan september 2002 di Bali. KLJ di terima para seniman Bali dengan tangan terbuka. Malah kami sempat berkolaborasi bersama seniman lainnya seperti seniman lukis, tekstil dan bahkan teater.
Pada buku ke-dua yang diterbitkan Gramedia dalam bentuk majalah edisi Spesial Chip Foto Video bertajuk “RITUAL FOTOGRAFI” pada tahun 2008, saya menekankan bahwa fotografer harus melek digital tapi tetap menggarisbawahi pentingnya ber-KLJ; bahkan pada peluncuran buku tersebut digelar workshop KLJ tingkat lanjut yang selalu dicitakan sejak berdirinya KLJI 6 tahun silam, mencetak foto dengan teknik cetak penemu fotografi, William Henry Fox Talbot, abad 19, Saltprint. Dengan misi melahirkan kreator dan Instruktur yang berkwalitas, juga jika suatu masa bahan KLJ seperti kertas foto, developer, fixer, tidak lagi diproduksi akibat pasar yang berubah menjadi full digital, popularitas KLJ tidak akan lenyap bahkan seperti lahir kembali. Seperti sejarah lahirnya kamera beberapa abad lalu. Bahkan mungkin bisa melahirkan 10 George Eastman “Kodak” versi Indonesia serta bisa mencuri kembali waktu 100 tahun proses penemuan yang “hilang” di dunia fotografi Indonesia.
Tentu sangat ekslusif! Karena hanya orang2 tertentu saja yang mampu membuat bahan KLJ dengan tangan mereka sendiri (handmade). Bagi Indonesia yang kaya akan bahan baku dan orang-orang kreatif, peristiwa seperti itu bukan sebuah khayalan. Membangkitkan kembali proses salt print, albumen print, cyanotype dan banyak lagi, sepertinya bukan masalah besar. Terbukti keterbatasan alat dan bahan yang selama ini menghantui, berubah menjadi kelebihan bahkan pada akhirnya malah menjadi khas daerah. Sebagai misal, karena di Jogja kaleng rokok mudah didapat lahirlah KLJ kaleng rokok, bahkan ditemukan pula KLJ kaleng yang bisa menghasilkan distorsi yang luarbiasa dan ini lahir dan menjadi khas KLJ Jogja. Tapi karena di Malang kaleng susah didapat, maka lahirlah KLJ pralon bahkan lahir pula seorang ahli kamera KLJ kotak tripleks. Dan di jakarta lahir kamera KLJ “pocket” dalam arti sebenarnya, bisa dimasukan ke dalam saku.
Dan jika efek KLJ disebutkan tidak akrab lingkungan, justru hikmahnya adalah kita dapat menyisipkan pesan dan memperkenalkan cara menangani limbah yang ditimbulkan dalam proses fotografi analog dengan benar. KLJ mengajarkan kita menata limbah dan puing dunia menjadi lebih berarti. KLJ mengingatkan kita akan dunia materi yang fana sekaligus menjadi alat untuk pendidikan jiwa, penggemblengan rasa, dan eksplorasi kreativitas bagi para kreator fotografi Indonesia.
KLJ bukan alat yang sempurna tapi kendaraan untuk menjadi sempurna, meski hingga saat ini KLJI masih sarat dengan berbagai ujian, saya tetap yakin, bahwa kita masih ada di jalan yang benar. (Ray Bachtiar Drajat)

Minggu, 05 Juni 2011

RESENSI NOVEL KISAH INDAH VENA MARS

Judul                      : Kisah Indah Vena Mars
Penulis                   : Astuty Natalia A.T
Jumlah Halaman     : 283 halaman
Penerbit                 : DIVA press
Cetakan Pertama   : Februari 2005
          Vena adalah seorang mahasiswi yang manja, mudah menyerah, tidak berfikir panjang, dan ia berangkat dari keluarga yang berada sehingga kurang mengetahiu bagaimana kerasnya kehidupan yang sesungguhnya. Mars adalah seorang pemuda kampung, ia adalah pemuda yang tegar, berpendirian kuat, dan pintar tapi sayangnya ia putus sekolah dan hanya bisa memendam semua cita-citanya, namun ia belajar dari kehidupan dan membuatnya menjadi sosok yang mengerti kerasnya kehidupan di luar. Mereka saling mengenal ketika vena melakukuan KKN di kampung tempat mars tinggal. Setiap hari mereka bertemu dan mereka dapat saling mengenal satu sama lain, walau mereka berangkat dari latar yang berbeda 180 derajat dan mendapat berbagai rintangan untuk menyatukan cinta mereka, tetapi akhirnya mereka dapat bersatu dan saling mencintai.
          Walau cover dari novel ini kurang menarik karena warna yang terlalu soft dan gambar dari cover tersebut terlihat biasa, namun ketika membaca novel tersebut, kita dapat lupa dengan waktu karena cerita dari novel tersebut menarik dan dapat membuat kita masuk ke dalam situasi cerita tersebut. Ukuran dan jenis huruf yang digunakan dapat terbaca dengan baik, serta bahasa yang digunakan adalah bahasa yang mudah dicerna oleh siapa saja, walaupun ada beberapa singkatan atau kata yang hanya dapat dimengerti oleh kalangan tertentu, kita dapat dengan mudah memahami kata tersebut karena di dalam novel tersebut terdapat catatan kaki atau penjelas yang menjelaskan singkatan atau kata tersebut. Di dalam novel tersebut juga terdapat beberapa ilustrasi yang menggambarkan kejadian yang sedang terjadi.
          Novel ini adalah novel yang bagus dan menarik untuk dibaca, karena tidak hanya cerita khas remaja tetapi di dalam novel tersebut terdapat banyak pelajaran yang dapat kita petik dari tokoh-tokoh yang ada dalam novel tersebut, terutama bagaimana kita harus menjalani kehidupan kita sekarang.

CARA DOWNLOAD VIDEO YOUTUBE


download program YouTube Downloader:
1. buka http://download.cnet.com/YouTube-Downloader/3000-2071_4-10647340.html?tag=mncol;4
2. lalu Download program tersebut
3. setelah terdownload install program tersebut
4. lalu buka program YouTube Downloader tersebut


cara mendownload video:
5. buka http://www.youtube.com/
6. cari video apa yang akan anda Download
7. setelah anda mendapatkan video apa yang akan anda Download copy URL dari video tersebut
8. lalu paste kan pada Program YouTube Downloader
9. pilih kualitas dari video yank akan anda Download
10. lalu click Download
11. pilih folder dimana anda akan menyimpan video tersebut
12. lalu click save
                                              Semoga berhasil..!!!! :)